Ilustrasi hubungan antara pasangan keadaan itu bisa jatuh cinta sungguhan sampai kerelung hati yang paling dalam
Asumsi awalnya, emosi akan berwujud pada tingkah laku seseorang, tetapi ternyata juga berlaku sebaliknya.
Studi yang dipimpin oleh psikolog kenamaan, Richard Wiseman mengungkap, berlaku seakan sedang jatuh cinta kepada seseorang akan meningkatkan kemungkinan Anda benar-benar cinta padanya.
Menurut Wiseman, sikap bisa menumbuhkan emosi, sama seperti emosi berwujud pada sikap seseorang. Temuan Wiseman ini bisa jadi penjelasan atas pertanyaan bagaimana pernikahan dari pasangan yang dijodohkan bisa langgeng.
Riset terpisah menyuguhkan hasil, kebanyakan pasangan yang pernikahannya dijodohkan atau yang dicomblangi cenderung mendapati masing-masing merasa cinta kepada pasangannya bertumbuh seiring waktu, sementara pasangan yang gaya berpasangan "konvensional" banyak yang mengalami pengurangan rasa cinta seiring waktu.
Tes yang dilakukan oleh profesor asal University of Hertfordshire adalah dengan menggelarspeed-dating. Masing-masing diminta untuk bertingkah seakan sudah saling jatuh cinta.
Seluruh 100 relawan yang terlibat dalam penelitian di Edinburgh, Inggris ini diminta untuk bergenggamann tangan, menatap mata, dan membisikkan rahasia ke orang yang "dijodohkan" pada tes speed-dating tersebut.
Di akhir studi, mereka ditanyakan mengenai perasaannya, sekitar 45 persen yang bertingkah seakan jatuh cinta berharap bisa bertemu lagi dengan orang yang dipasangkan dengannya pada malam itu.
Menurut Profesor Wiseman temuan ini adalah hasil studi yang luar biasa. "Mirip seperti orang yang akan merasa bahagia bila dipaksa tersenyum, maka orang yang dipaksa bertingkah mencintai orang lain, ia pun akan mencintai orang itu pada akhirnya," kata Wiseman.
Asumsi awalnya, emosi akan berwujud pada tingkah laku seseorang, tetapi ternyata juga berlaku sebaliknya.
"Bertingkah seperti orang yang sedang jatuh cinta kepada seseorang bisa membuat orang tersebut pada akhirnya benar-benar jatuh cinta," tekan Wiseman.
Disimpulkan profesor tersebut, aksi adalah cara tercepat, termudah, dan terkuat untuk secara instan mengubah cara pikir dan perasaan seseorang.
Studi lain dari akademi Harvard yang dipimpin oleh dr Robert Epstein meneliti subyek pernikahan yang dijodohkan selama 8 tahun, melihat grup budaya dari India, Pakistan, dan Yahudi Ortodoks.
Epstein mewawancarai sekitar 100 pasangan yang pernikahannya dijodohkan untuk melihat kekuatan dari perasaan mereka. Hasil studi tersebut kemudian dibandingkan dengan riset terhadap perasaan pasangan yang sudah menikah lebih dari 30 tahun.
Hasilnya, cinta dari pasangan yang bermula dari sama-sama suka (pacaran) akan mulai memudar di usia pernikahan rata-rata 18 bulan. Sementara cinta dari pasangan yang dijodohkan cenderung bertumbuh bertahap, melewati kelanggengan usia pernikahan pasangan yang memang sejak awal berencana menikah, dan mencapai puncaknya rata-rata 5 tahun usia pernikahan.
Koneksi yang dirasa pasangan yang dijodohkan juga cenderung dua kali lipat lebih kuat. Para ahli hubungan mengklaim, hal ini karena pernikahan yang dijodohkan umumnya dilakukan oleh masing-masing keluarga atau teman sambil memperhitungkan kesamaan kesukaan dan tujuan hidup calon pengantin itu. Sekaligus juga, pasangan ini punya beban dari keluarga yang punya tujuan untuk menjodohkan mereka.
Artinya, pasangan yang dijodohkan akan jauh lebih berkomitmen untuk berusaha menjaga pernikahannya, terutama saat melewati masa-masa sulit.
Sementara pasangan yang menikah atas dasar cinta cenderung terbutakan oleh gairah, sehingga lupa untuk memperhitungkan hal-hal berkait kedekatan keluarga dan sebagainya.
Pasangan yang menikah secara "konvensional" atau menikah karena cinta cenderung melihat situasi yang sedang melewati masa susah sebagai ujung alami dari mimpi romantis.
Dengan meningkatnya jumlah perceraian dan orangtua tunggal, periset berpendapat, sudah saatnya orang "barat" mulai mempertimbangkan lagi soal pendekatan terhadap cinta.
"Bukan bermaksud pro kepada pernikahan yang dijodohkan, tetapi kita bisa belajar dari hubungan pernikahan semacam itu. Seumur hidup kita merencanakan pendidikan, karier, dan keuangan. Ketika menyangkut urusan percintaan pun kita tak nyaman bila tak direncanakan," kata Epstein.
Dalam pernikahan yang dijodohkan, banyak orang yang memikirkan tentang perjodohan itu. Sementara di percintaan ala "barat", menurut Wiseman, sangat mudah untuk salah satu atau keduanya mengakhiri ikatan pernikahan karena kebanyakan hanya mengutamakan ketertarikan fisik. Padahal, ketertarikan fisik adalah hal yang sangat berbahaya, karena bisa membutakan kenyataan.
"Sementara di pernikahan yang dijodohkan, komitmennya sangat kuat. Pasangan ini menikah dengan mengetahui satu sama lain tidak bisa pergi. Jadi, bila ada masalah yang mendera, baik yang ringan maupun berat, pasangan ini tak akan lari, mereka justru kian rekat," kata Epstein.
Di lain pihak, pakar hubungan dan penulis buku The Divorce Doctor, Francine Kaye mengungkap, pasangan yang berada dalam pernikahan yang dijodohkan cenderung berupaya keras supaya pernikahannya berhasil.
"Perjodohan bisa berhasil karena di masyarakat tersebut pernikahan dilihat dengan sudut pandang berbeda, yang pragmatis. Sementara orang barat cenderung mengutamakan romantisme," kata Kaye.
Ditambahkan Kaye, sepragmatis apa pun sebuah pasangan dalam sebuah hubungan perjodohan, akan selalu dibutuhkan 'chemistry' supaya hubungan bisa berhasil.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar