Makin menguat keinginan para pelamar pekerjaan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Terbukti, setiap ada informasi penerimaan CPNS begitu antusias anak-anak muda mendaftarkan diri. Sebagian mungkin karena kesadaran ingin menjadi abdi negara, tanpa memedulikan gajinya besar ataukah tidak. Sebagian mungkin karena desakan orangtua, yang masih mengalami sindrom memilih aman sebagai among negara ala warisan kolonialisme Belanda. Sebagian lagi, boleh jadi sekadar coba-coba atau karena tidak ada lagi aktivitas yang menarik selain menjadi PNS; soal potensi, menjadi urusan kesekian.
Ironisnya, semangat untuk menjadi PNS disertai praktik suap. Memang ada kemajuan belakangan ini, khususnya di departemen-departemen yang menterinya tegas dalam soal rekrutmen. Walau demikian, secara umum kesan ”main jalur belakang” tidak surut di benak publik. Tulisan di bawah ini sekadar menengok ke belakang betapa tidak sederhanya persoalan korupsi atau suap dalam rekrutmen PNS. Sehingga, sebuah ormas keagamaan sekalipun ”terpaksa” memfatwakan berbeda dengan suara para pegtiat antikorupsi.
Ironisnya, semangat untuk menjadi PNS disertai praktik suap. Memang ada kemajuan belakangan ini, khususnya di departemen-departemen yang menterinya tegas dalam soal rekrutmen. Walau demikian, secara umum kesan ”main jalur belakang” tidak surut di benak publik. Tulisan di bawah ini sekadar menengok ke belakang betapa tidak sederhanya persoalan korupsi atau suap dalam rekrutmen PNS. Sehingga, sebuah ormas keagamaan sekalipun ”terpaksa” memfatwakan berbeda dengan suara para pegtiat antikorupsi.
* * *
Hasil pembahasan tentang hukum suap dalam seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) bahtsul masa’il diniyah dalam Muktamar ke-31 Nahdlatul Ulama (NU) di Boyolali mendapat tanggapan balik dari aktivis LSM antikorupsi seperti Indonesian Corruption Watch (ICW). Hasil pembahasan berupa fatwa bolehnya suap dikritik sebagai bentuk ketidakpekaan NU dalam pemberantasan korupsi.
Tanggapan balik ini sangat beralasan, sebab di tengah akutnya perkorupsian di negara kita fatwa tersebut seakan memberi celah praktik korupsi. Apalagi jika melihat ke belakang komitmen NU untuk memberantas korupsi terutama yang ditekadkan NU bersama Muhammadiyah berupa pendatanganan nota kesepahaman memberantas korupsi pada 15 Oktober 2003 fatwa tersebut terasa ironis bahkan langkah mundur. Namun benarkah NU membolehkan kembali praktik suap? Apakah yang diperbolehkan dalam fatwa tersebut meliputi setiap kasus?
Tanggapan atas fatwa NU sebetulnya berangkat dari salah satu item tentang hukum suap dalam seleksi CPNS. Draft utuh dari tema ini sendiri adalah: pertama, jika yang memberi suap (maksudnya CPNS) merupakan orang yang berhak menjadi PNS, dan dilakukan dengan tidak menyakiti atau merugikan sesama muslim yang juga berhak, maka memberi suap boleh (mubah). Sedangkan bagi yang menerima uang dari PNS tersebut termasuk dalam kategori haram (risywah, suap). Kedua, jika orang yang memberi suap (CPNS) itu memberikan uang agar semata-mata diterima menjadi PNS, sementara posisi yang ditawarkan tersebut bukanlah dia, atau bukan yang berhak menempatinya, maka baik yang memberi maupun yang menerimanya hukumnya haram. Dengan demikian, celah untuk praktik suap hanya berlaku pada kondisi pertama.
Pada kondisi pertama tersebut, diharamkannya uang suap bagi si penerima (kendati boleh/mubah bagi si CPNS) NU tampaknya tetap ingin mempertahankan semangat memberantas korupsi. Sebab yang diberi celah adalah mereka yang menemukan kondisi darurat; seorang CPNS sebetulnya berpotensi atau berkualitas, namun karena ada prasyarat memberi sejumlah uang, dia bisa tertolak jika tidak memberi. Padahal, ada kemungkinan manfaat yang bisa didapat dengan masuknya CPNS tersebut misalnya kredibilitas moralnya baik, sebuah sikap yang dibutuhkan di tengah birokrasi yang bobrok. Tegasnya fatwa tersebut mengakomodasi keadaan atau bersimpati dalam kondisi demikian dengan meletakkan sebagai persoalan darurat.
Memang dalam kodifikasi hukum Islam (fikih) konsep darurat lazim diterapkan. Jika titik tolak atau perspektifnya dari fikih, sebetulnya item pertama fatwa tersebut bukan hal yang aneh apalagi luar biasa. Seseorang diperkenankan untuk menempuh praktik suap disebabkan adanya faktor darurat. Tidak boleh dilupakan bahwa esensi darurat sendiri melekat dengan makna berlaku sementara waktu, bukan mutlak seterusnya (termasuk dalam kasus CPNS). Ini bisa dicontohkan dari bolehnya seorang muslim memakan makanan yang diharamkan syariat, misalnya bangkai atau daging babi, ketika betul-betul saat itu dia sama sekali tidak menjumpai apa pun untuk dikonsumsinya tetapi dengan syarat konsumsinya tidak melampaui batas. Analogi dalam kasus CPNS adalah orang yang berada dalam posisi lemah; dia terzalimi. Adapun pihak yang menzalimi CPNS ini, karena perbuatan korupsinya (menuntut uang suap) maka dia dikategorikan sebagai pihak yang bersalah (berdosa).
Akan tetapi sikap NU tersebut bisa memunculkan penilaian negatif dengan apa yang pernah NU tekadkan bersama Muhammadiyah. Sebab, nota kesepahaman itu sendiri bernada “radikal”’, tidak ada celah sedikit pun atau pengecualian apa pun untuk bolehnya praktik korupsi. Meskipun dengan alasan “mengakomodasi” realitas yang ada, bagaimana pun unsur kontradiktifnya tidak hilang. Pada sisi inilah tampak relevan kritik terhadap fatwa tersebut, yakni bahwa NU mencoba bermain-main api dengan korupsi. Ada hal-hal yang memang perlu dilihat dari tinjauan fikih, tapi ada pula hal-hal yang perlu menyertakan perspektif lain.
Dalam konteks ini semangat “mengakomodasi” keadaan, alih-alih memunculkan pandangan positif, justru menguatkan kembali pesimisme bahwa memberantas praktik korupsi di negara kita memang mustahil.
Bukannya meneladankan kekuatan sipil yang konsisten dan radikal menolak korupsi, NU malah turut menguatkan krisis keteladanan menolak korupsi. Pada saat NU dan Muhammadiyah bertekad memberantas korupsi muncul optimisme yang tinggi dari pelbagai pihak. Sebab dengan diawali dari dua ormas yang jumlah anggotanya sekitar 80 jutaan ini akan dijadikan awal gebrakan percontohan. Dalam konteks inilah fatwa NU di atas berbenturan dengan kenyataan ini. Maksud baik untuk luwes dan populis, justru bisa dipersepsi sebagai sikap menyerah NU terhadap keadaan; NU tidak berani menghadapi peliknya persoalan korupsi. Jika ditarik lebih jauh, bagaimana untuk menghadapi korupsi yang pelakunya pejabat atau pihak yang berkekuatan besar, sementara untuk korupsi “kecil” pun NU akomodatif?
Tanpa bermaksud merendahkan kualitas fatwa tersebut, saya melihat ada ketidakpekaan dan ketidakcermatan NU. Pada saat publik membutuhkan contoh, NU masih mempertahankan pengecualian praktik suap. Bagaimana NU bisa menjamin seorang CPNS yang masuk kategori darurat namun kemudian hari CPNS ini menjalankan praktik korupsi sebagai langkah mengumpulkan “modal balik”? Jika logika “modal balik” di kalangan PNS masih ada (dan sejauh ini sulit dihilangkan), tepatkah memberi harapan tidak terjadinya korupsi?
Sedangkan ketidakcermatan NU di sini terkait dengan ketidakmampuan mereka membaca situasi aktual sosial-politik. Saya tidak tahu apakah fatwa itu telah memasukkan realitas bahwa pemerintahan sekarang bertekad memberantas korupsi tidak terkecuali untuk tes CPNS. Ironis, dan justru berlawanan momentum, tatkala pemerintah bertekad memberantas korupsi dalam praktik tes CPNS, NU masih mengambil sikap lunak. Ada kemunduran langkah dan antisipasi, padahal salah seorang anggota NU, Alwi Shihab, justru masuk dalam tim yang mengoordinasi tes CPNS ini. Bagaimana mungkin NU sampai lalai dalam hal ini? NU yang semestinya mengontrol atau membantu komitmen pemerintah ini justru, setidaknya dalam kasus CPNS ini, memelihara praktik korupsi.
Tanggapan balik ini sangat beralasan, sebab di tengah akutnya perkorupsian di negara kita fatwa tersebut seakan memberi celah praktik korupsi. Apalagi jika melihat ke belakang komitmen NU untuk memberantas korupsi terutama yang ditekadkan NU bersama Muhammadiyah berupa pendatanganan nota kesepahaman memberantas korupsi pada 15 Oktober 2003 fatwa tersebut terasa ironis bahkan langkah mundur. Namun benarkah NU membolehkan kembali praktik suap? Apakah yang diperbolehkan dalam fatwa tersebut meliputi setiap kasus?
Tanggapan atas fatwa NU sebetulnya berangkat dari salah satu item tentang hukum suap dalam seleksi CPNS. Draft utuh dari tema ini sendiri adalah: pertama, jika yang memberi suap (maksudnya CPNS) merupakan orang yang berhak menjadi PNS, dan dilakukan dengan tidak menyakiti atau merugikan sesama muslim yang juga berhak, maka memberi suap boleh (mubah). Sedangkan bagi yang menerima uang dari PNS tersebut termasuk dalam kategori haram (risywah, suap). Kedua, jika orang yang memberi suap (CPNS) itu memberikan uang agar semata-mata diterima menjadi PNS, sementara posisi yang ditawarkan tersebut bukanlah dia, atau bukan yang berhak menempatinya, maka baik yang memberi maupun yang menerimanya hukumnya haram. Dengan demikian, celah untuk praktik suap hanya berlaku pada kondisi pertama.
Pada kondisi pertama tersebut, diharamkannya uang suap bagi si penerima (kendati boleh/mubah bagi si CPNS) NU tampaknya tetap ingin mempertahankan semangat memberantas korupsi. Sebab yang diberi celah adalah mereka yang menemukan kondisi darurat; seorang CPNS sebetulnya berpotensi atau berkualitas, namun karena ada prasyarat memberi sejumlah uang, dia bisa tertolak jika tidak memberi. Padahal, ada kemungkinan manfaat yang bisa didapat dengan masuknya CPNS tersebut misalnya kredibilitas moralnya baik, sebuah sikap yang dibutuhkan di tengah birokrasi yang bobrok. Tegasnya fatwa tersebut mengakomodasi keadaan atau bersimpati dalam kondisi demikian dengan meletakkan sebagai persoalan darurat.
Memang dalam kodifikasi hukum Islam (fikih) konsep darurat lazim diterapkan. Jika titik tolak atau perspektifnya dari fikih, sebetulnya item pertama fatwa tersebut bukan hal yang aneh apalagi luar biasa. Seseorang diperkenankan untuk menempuh praktik suap disebabkan adanya faktor darurat. Tidak boleh dilupakan bahwa esensi darurat sendiri melekat dengan makna berlaku sementara waktu, bukan mutlak seterusnya (termasuk dalam kasus CPNS). Ini bisa dicontohkan dari bolehnya seorang muslim memakan makanan yang diharamkan syariat, misalnya bangkai atau daging babi, ketika betul-betul saat itu dia sama sekali tidak menjumpai apa pun untuk dikonsumsinya tetapi dengan syarat konsumsinya tidak melampaui batas. Analogi dalam kasus CPNS adalah orang yang berada dalam posisi lemah; dia terzalimi. Adapun pihak yang menzalimi CPNS ini, karena perbuatan korupsinya (menuntut uang suap) maka dia dikategorikan sebagai pihak yang bersalah (berdosa).
* * *
NU memang telah menandatangani nota kesepahaman. Namun ini tampaknya tidak mengabaikan karakter luwes NU terhadap kondisi sosiologis masyarakat sebagai ciri kulturalnya NU. Saya melihat preferensi NU untuk menghasilkan fatwa tersebut tidak terlepas dari kenyataan masih banyaknya praktik-praktik korupsi. Di sisi ini NU bermaksud menerima realitas sosial yang ada di tengah masyarakat, alih-alih melarang seluruhnya. Di sisi lain, sudah mentradisi di kalangan NU kecenderungan berbaik sangka. Pada kasus CPNS hal ini terlihat dari semangat fatwa yang menaruh harapan positif kepada seorang CPNS yang menempuh jalur memberi suap, bahwa pada saatnya diterima sebagai PNS, seorang CPNS dia tidak akan melakukan tindakan negatif. Meski tampak naïf, tapi inilah yang terjadi. NU masih mempertahankan cara-cara kultural dan evolutifnya.Akan tetapi sikap NU tersebut bisa memunculkan penilaian negatif dengan apa yang pernah NU tekadkan bersama Muhammadiyah. Sebab, nota kesepahaman itu sendiri bernada “radikal”’, tidak ada celah sedikit pun atau pengecualian apa pun untuk bolehnya praktik korupsi. Meskipun dengan alasan “mengakomodasi” realitas yang ada, bagaimana pun unsur kontradiktifnya tidak hilang. Pada sisi inilah tampak relevan kritik terhadap fatwa tersebut, yakni bahwa NU mencoba bermain-main api dengan korupsi. Ada hal-hal yang memang perlu dilihat dari tinjauan fikih, tapi ada pula hal-hal yang perlu menyertakan perspektif lain.
Dalam konteks ini semangat “mengakomodasi” keadaan, alih-alih memunculkan pandangan positif, justru menguatkan kembali pesimisme bahwa memberantas praktik korupsi di negara kita memang mustahil.
Bukannya meneladankan kekuatan sipil yang konsisten dan radikal menolak korupsi, NU malah turut menguatkan krisis keteladanan menolak korupsi. Pada saat NU dan Muhammadiyah bertekad memberantas korupsi muncul optimisme yang tinggi dari pelbagai pihak. Sebab dengan diawali dari dua ormas yang jumlah anggotanya sekitar 80 jutaan ini akan dijadikan awal gebrakan percontohan. Dalam konteks inilah fatwa NU di atas berbenturan dengan kenyataan ini. Maksud baik untuk luwes dan populis, justru bisa dipersepsi sebagai sikap menyerah NU terhadap keadaan; NU tidak berani menghadapi peliknya persoalan korupsi. Jika ditarik lebih jauh, bagaimana untuk menghadapi korupsi yang pelakunya pejabat atau pihak yang berkekuatan besar, sementara untuk korupsi “kecil” pun NU akomodatif?
Tanpa bermaksud merendahkan kualitas fatwa tersebut, saya melihat ada ketidakpekaan dan ketidakcermatan NU. Pada saat publik membutuhkan contoh, NU masih mempertahankan pengecualian praktik suap. Bagaimana NU bisa menjamin seorang CPNS yang masuk kategori darurat namun kemudian hari CPNS ini menjalankan praktik korupsi sebagai langkah mengumpulkan “modal balik”? Jika logika “modal balik” di kalangan PNS masih ada (dan sejauh ini sulit dihilangkan), tepatkah memberi harapan tidak terjadinya korupsi?
Sedangkan ketidakcermatan NU di sini terkait dengan ketidakmampuan mereka membaca situasi aktual sosial-politik. Saya tidak tahu apakah fatwa itu telah memasukkan realitas bahwa pemerintahan sekarang bertekad memberantas korupsi tidak terkecuali untuk tes CPNS. Ironis, dan justru berlawanan momentum, tatkala pemerintah bertekad memberantas korupsi dalam praktik tes CPNS, NU masih mengambil sikap lunak. Ada kemunduran langkah dan antisipasi, padahal salah seorang anggota NU, Alwi Shihab, justru masuk dalam tim yang mengoordinasi tes CPNS ini. Bagaimana mungkin NU sampai lalai dalam hal ini? NU yang semestinya mengontrol atau membantu komitmen pemerintah ini justru, setidaknya dalam kasus CPNS ini, memelihara praktik korupsi.
Terlepas dari (kemungkinan) terjadinya kelalaian, jika NU masih mengonsisteni nota antikorupsinya apalagi Hasyim Muzadi, ketua umum yang menandatangani nota tersebut, terpilih kembali dalam Muktamar di Boyolali lalu maka harus ada rekomitmen yang selanjutnya disampaikan terbuka ke publik, bahwa mereka masih tetap dalam rel antikorupsi.[]
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar