Bagaimana cara bersuci (thoharoh) bagi orang yang sakit?
Pertama; wajib bagi orang yang sakit untuk bersuci dengan air yaitu dia wajib berwudhu ketika terkena hadats ashgor (hadats kecil). Jika terkena hadats akbar (hadats besar), dia diwajibkan untuk mandi wajib.
Kedua; jika tidak mampu bersuci dengan air karena tidak mampu atau karena khawatir sakitnya bertambah parah, atau khawatir sakitnya bisa bertambah lama sembuhnya, maka dia diharuskan untuk tayamum.
Ketiga; TATA CARA TAYAMUM adalah dengan menepuk kedua telapak tangan ke tanah yang suci dengan satu kali tepukan, lalu mengusap seluruh wajah dengan kedua telapak tangan tadi, setelah itu mengusap kedua telapak tangan satu sama lain.[2]
Keempat; jika orang yang sakit tersebut tidak mampu bersuci sendiri, maka orang lain boleh membantunya untuk berwudhu atau tayamum. (Misalnya tayamum), orang yang dimintai tolong tersebut menepuk telapak tangannya ke tanah yang suci, lalu dia mengusap wajah orang yang sakit tadi, diteruskan dengan mengusap kedua telapak tangannya. Hal ini juga serupa jika orang yang sakit tersebut tidak mampu berwudhu (namun masih mampu menggunakan air, pen), maka orang lain pun bisa menolong dia dalam berwudhu (orang lain yang membasuh anggota tubuhnya ketika wudhu, pen).
Kelima; jika pada sebagian anggota tubuh yang harus disucikan terdapat luka, maka luka tersebut tetap dibasuh dengan air. Apabila dibasuh dengan air berdampak sesuatu (membuat luka bertambah parah, pen), cukup bagian yang terluka tersebut diusap dengan satu kali usapan. Caranya adalah tangan dibasahi dengan air, lalu luka tadi diusap dengan tangan yang basah tadi. Jika diusap juga berdampak sesuatu, pada saat ini diperbolehkan untuk bertayamum.
[Keterangan[3] : membasuh adalah dengan mengalirkan air pada anggota tubuh yang ingin dibersihkan, sedangkan mengusap adalah cukup dengan membasahi tangan dengan air, lalu tangan ini saja yang dipakai untuk mengusap, tidak dengan mengalirkan air]
Keenam; jika sebagian anggota tubuh yang harus dibasuh mengalami patah, lalu dibalut dengan kain (perban) atau gips, maka cukup anggota tubuh tadi diusap dengan air sebagai ganti dari membasuh. Pada kondisi luka yang diperban seperti ini tidak perlu beralih ke tayamum karena mengusap adalah pengganti dari membasuh.
Ketujuh; boleh seseorang bertayamum pada tembok yang suci atau yang lainnya, asalkan memiliki debu[4]. Namun apabila tembok tersebut dilapisi dengan sesuatu yang bukan tanah -seperti cat-, maka pada saat ini tidak boleh bertayamum dari tembok tersebut kecuali jika ada debu.
Kedelapan; jika tidak ditemukan tanah atau tembok yang memiliki debu, maka tidak mengapa menggunakan debu yang dikumpulkan di suatu wadah atau di sapu tangan, kemudian setelah itu bertayamum dari debu tadi.
Kesembilan; jika kita telah bertayamum dan kita masih dalam keadaan suci (belum melakukan pembatal) hingga masuk waktu shalat berikutnya, maka kita cukup mengerjakan shalat dengan menggunakan tayamum yang pertama tadi, tanpa perlu mengulang tayamum lagi karena ini masih dalam keadaan thoharoh (suci) selama belum melakukan pembatal.
Kesepuluh; wajib bagi orang yang sakit untuk membersihkan badannya dari setiap najis. Jika dia tidak mampu untuk menghilangkannya dan dia shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.
Kesebelas; wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat dengan pakaian yang suci. Jika pakaian tersebut terkena najis, maka wajib dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Jika dia tidak mampu untuk melakukan hal ini dan shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.
Keduabelas; wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat pada tempat yang suci. Apabila tempat shalatnya (seperti alas tidur atau bantal, pen) terkena najis, wajib najis tersebut dicuci atau diganti dengan yang suci, atau mungkin diberi alas lain yang suci. Jika tidak mampu untuk melakukan hal ini dan tetap shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.
Ketigabelas; tidak boleh bagi orang yang sakit mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya dengan alasan karena tidak mampu untuk bersuci. Bahkan orang yang sakit ini tetap wajib bersuci sesuai dengan kadar kemampuannya, sehingga dia dapat shalat tepat waktu; walaupun badan, pakaian, atau tempat shalatnya dalam keadaan najis dan tidak mampu dibersihkan (disucikan).
-Insya Allah pembahasan ini akan dilanjutkan dengan penjelasan Shalat untuk Orang Sakit-
Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Mengenai risalah ini kami tidak mendapatkan dari kitab asli, namun kami hanya menggabungkan dari dua naskah. Naskah pertama diterbitkan oleh Al Jami’ah Al Islamiyah Al Madinah Al Munawwaroh, tahun 1409 H, sumber: program aplikasi www.islamspirit.com. Naskah kedua terdapat di Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin, sumber: Maktabah Syamilah.
[2] Untuk mengusap tangan cukup sampai telapak tangan saja (tidak sampai ke siku seperti berwudhu), inilah yang lebih tepat. Alasannya, ayat yang menyebutkan tata cara tayamum hanya menyebut sampai telapak tangan saja, sedangkan ayat tentang wudhu menyebutkan membasuh tangan sampai siku. Sehingga hukum membasuh tangan pada wudhu dan mengusap tangan pada tayamum berbeda dan tidak boleh disamakan.
[3] Ini adalah keterangan tambahan dari penerjemah. Silakan lihat penjelasan ini di Syarhul Mumthi’ ‘ala Zadil Mustaqni’ pada pembahasan wudhu.
[4] Namun, apakah tayamum harus dengan debu, tidak boleh dengan yang lainnya, ini terdapat perselisihan di antara para ulama.
Sebagian ulama, di antaranya Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad, termasuk Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan hanya boleh dengan debu karena sho’id yang dimaksudkan dalam surat Al Maidah ayat 6 adalah debu. Namun, ulama lainnya, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Hazm mengatakan bahwa boleh dengan selain debu karena sho’id yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang ada di permukaan bumi seperti kerikil, gunung, batu, debu dan pasir. Akan tetapi pendapat kedua ini memberi persyaratan untuk selain debu boleh digunakan asalkan dia menyatu dengan permukaan bumi. Pendapat kedua inilah yang lebih kuat berdasarkan dalil-dalil yang ada. Wallahu a’lam, wa ‘ilmu ‘indallah. Silakan lihat penjelasan ini di Shohih Fiqh Sunnah, 1/199-200, Al Maktabah At Taufiqiyyah
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar