Hukum Seputar Nusyuz

Bookmark and Share
Soal:
Apa dan bagaimana sebenarnya praktik nusyûz; pengertian, batasan, dan sanksinya?

Jawab:
Nusyûz adalah pelanggaran istri terhadap perintah dan larangan suami secara mutlak. Jika seorang istri tidak melakukan kewajiban semisal shalat, atau melakukan keharaman seperti tabarruj (berpenampilan yang menarik perhatian lelaki lain), maka seorang suami wajib memerintahkan istrinya untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman tersebut. Jika tidak mau, berarti dia telah melakukan tindakan nusyûz. Dalam kondisi seperti ini, seorang suami berhak untuk menjatuhkan sanksi kepada istrinya. Dia juga tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Jika istrinya telah kembali, atau tidak nusyûz lagi, maka sang suami tidak berhak lagi untuk menjatuhkan sanksi kepada istrinya, dan pada saat yang sama dia pun wajib memberikan nafkah istrinya.
Ketika syariat telah menetapkan hak seorang suami secara umum untuk memerintahkan istrinya melakukan sesuatu, atau melarangnya, syariat juga telah men-takhshîsh beberapa hal dari keumuman tersebut. Misalnya, syariat membolehkan seorang wanita untuk melakukan transaksi bisnis, mengajar, melakukan silaturahmi, pergi ke masjid, menghadiri ceramah, seminar, ataupun kajian. Dengan adanya takhshîsh ini, konteks nusyûz tersebut bisa lebih dideskripsikan sebagai bentuk pelanggaran seorang istri terhadap perintah dan larangan suami, yang berkaitan dengan kehidupan khusus (al-hayâh al-khâshah), dan kehidupan suami-istri (al-hayâh az-zawjiyyah).
Karena itu, di luar semua itu tidak dianggap nusyûz. Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan umum (al-hayâh al-'ammâh), seperti jual-beli di pasar, atau belajar di masjid, dan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan suami istri tidak termasuk dalam kategori nusyûz. Jika suami memerintahkan istrinya menyiapkan makanan untuknya, menutup aurat di depan laki-laki lain, memerintahkannya shalat, puasa, mengenakan pakaian tertentu, atau tidak membuka salah satu jendela, tidak menjawab orang yang mengetuk pintu, tidak duduk di beranda rumah, mencuci pakaian suaminya, keluar rumah dan lain-lain yang berkaitan dengan kehidupan khusus, atau kehidupan suami-istri, maka syariat telah memerintahkan seorang istri untuk menaati suaminya dalam perkara-perkara tersebut. Jika dia melanggar dan tidak menaatinya, maka dia layak disebut melakukan nusyûz, dan kepadanya berlaku hukum nusyûz.
Dalam hal-hal yang tidak terkait dengan kehidupan khusus (al-hayâh al-khâshah) dan kehidupan suami-istri (al-hayâh az-zawjiyyah), maka suami hanya berkewajiban untuk memerintahkan istrinya, atau melarangnya; jika istrinya tidak mau menaatinya, maka tidak bisa dianggap nusyûz. Jika seorang suami, misalnya, memerintahkan istrinya menunaikan ibadah haji, membayar zakat, berjihad, bergabung dengan salah satu partai (organisasi), atau melarang istrinya mengunjungi kedua orangtuanya, bersilaturahmi dengan kerabatnya, membuka kios untuk berdagang, datang ke masjid untuk shalat berjamaah, menghadiri seminar, tablig akbar, masîrah dan sebagainya, yang berkaitan dengan kehidupan umum (al-hayâh al-'ammâh), dan tidak berkaitan dengan kehidupan khusus atau kehidupan suami-istri, maka seorang istri tidak wajib menaati suaminya dalam perkara-perkara tersebut; sekalipun tetap wajib meminta izin kepada suaminya. Hanya saja, adanya izin tersebut tidak mengikat.  Nah, ketika seorang istri tidak menaati suaminya dalam hal seperti ini, maka dia pun tidak bisa dianggap nusyûz.
Mengenakan jilbâb (sejenis jubah/abaya) sebagai bentuk pakaian Muslimah di luar rumah  merupakan bagian dari kehidupan umum, bukan kehidupan khusus; seperti halnya silaturahim, haji, zakat, atau bergabung dengan partai. Semuanya itu hukumnya wajib bagi wanita. Dalam hal ini, suami tidak berkewajiban untuk memaksa istrinya agar melaksanakan kewajiban tersebut, sepanjang semuanya itu merupakan kehidupan umum dan tidak berkaitan dengan kehidupan suami-istri. Suami memang tidak berkewajiban untuk memerintahkan istrinya, atau melarangnya untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Jika suaminya memerintahkan atau melarangnya, sementara istrinya tetap tidak mau untuk menaatinya, maka istrinya tidak boleh dianggap nusyûz, dan suaminya pun tidak berhak untuk menjatuhkan sanksi atas pelanggaran istrinya dalam kasus seperti ini. 
Akan tetapi, kalau berkaitan dengan kehidupan khusus, misalnya seorang istri keluar (di ruang tamu) menemui tamu dengan pakaian kerja, dengan rambut terurai, dengan kedua lengan dan bahu terbuka, yang berarti telah melakukan tabarruj, atau berpakaian yang dianggap kurang pantas oleh masyarakat, maka suaminya wajib memerintahkan istrinya atau melarangnya dari hal-hal tersebut. Sebab, semua itu berkaitan dengan kehidupan khusus. Di dalam kehidupan khusus seperti itu dia hanya diperbolehkan untuk berpakain kerja atau membuka auratnya di hadapan mahram-nya.
Karena itu, bisa saja terjadi, seorang istri keluar rumah dengan menutup seluruh auratnya, tetapi tidak dalam bentuk jilbâb, sekalipun suaminya telah memerintahkannya agar berpakaian dalam bentuk jilbâb. Pelanggaran tersebut tidak termasuk dalam kategori nusyûz. Bisa jadi pula seorang istri tetap keluar rumah untuk menghadiri kajian di masjid, atau seminar di kampus, sekalipun suaminya telah melarangnya untuk melakukan kegiatan tersebut. Pelanggaran tersebut juga tidak dianggap nusyûz. Meski demikian, jika di rumah ada kewajiban lain, misalnya mengurus anak, menyiapkan pakaian, makan dan minum suami, maka tidak seharusnya kewajiban tersebut diabaikan, sehingga dia melakukan taqshîr (kelalaian). Dalam konteks seperti ini istri tersebut memang tidak dianggap nusyûz, namun tetap dinyatakan melakukan taqshîr.
Adapun hal lain yang termasuk dalam kategori kehidupan khusus adalah ketika seorang wanita kerja lembur dengan lelaki lain dalam suatu tempat yang bercampur-baur; wanita bepergian dengan suami atau mahram mereka bersama-sama dengan laki-laki lain, baik mereka bersama istri-istrinya atau tidak; wanita belajar dengan laki-laki lain dalam suatu majelis di dalam rumah, sementara untuk masuk ke rumah tersebut diperlukan izin; wanita belajar di sekolah menengah atas, atau yang lain, dan mereka belajar bersama-sama dengan laki-laki lain; wanita bekerja di sekolah atau tempat seperti ini. Semuanya itu masuk dalam kategori kehidupan khusus. Jika suaminya melarang kerja lembur, pergi rekreasi yang bercampur-baur, meninggalkan studi, meninggalkan tugas mengajar atau bekerja—yang semuanya di tempat yang bercampur-baur—maka ketika istrinya tidak menaati perintah dan larangan suaminya, dia bisa dinyatakan nusyûz. Dalam hal ini, suaminya berhak untuk menjatuhkan sanksi tertentu kepada istrinya itu. Pada saat yang sama, suami juga tidak wajib memberikan nafkah kepadanya.
Namun, menghadiri kajian di masjid, ceramah umum, seminar, konferensi, atau Pemilu, semuanya itu merupakan bagian dari kehidupan umum, dan bukan kehidupan khusus. Jika suaminya melarang hadir, lalu istrinya tidak menaati larangannya, maka dia tetap tidak bisa dianggap nusyûz. Karena semuanya itu merupakan bagian dari kehidupan umum, bukan kehidupan khusus, dan tidak berkaitan dengan kehidupan khusus.

Sanksi Nusyûz
Sanksi nusyûz tersebut telah dijelaskan oleh Pembuat syariat. Allah Swt. berfirman:

]وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً[

Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyûz-nya, maka nasihatilah mereka, tinggalkanlah  mereka di tempat tidurnya, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membekas). Jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari alasan untuk menghukum mereka. (QS an-Nisa' [4]: 34).

Jadi, bentuk sanksi tersebut adalah:
(1)   menasihatinya dan memberikan peringatan kepadanya;
(2)   meninggalkannya di tempat tidur;
(3)   memukulnya dengan pukulan yang tidak membekas.

Semua sanksi tersebut ditetapkan sebagai solusi agar seorang istri menaati suaminya. Jika suami ingin menyelesaikannya, penyelesaiannya harus dengan penyelesaian yang telah dinyatakan oleh syariat di atas. Jika dia menyelesaikannya dengan penyelesaian yang lain, misalnya karena faktor kesalahan nusyûz tadi, kemudian dia menceraikan istrinya, maka penyelesaian seperti ini bukan merupakan penyelesaian yang dinyatakan oleh syariat; sekalipun hukumnya mubah.
Di samping itu, ada hal-hal yang seharusnya tetap menjadi perhatian, bahwa kehidupan suami-istri harus memperhatikan terbentuknya kehidupan keluarga yang harmonis, dengan penuh kasih sayang dan cinta kasih. Rasulullah saw. bersabda: 

«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لاََِهْلِهِ وَاَنَا خَيْرُكُمْ لاَِهْلِيْ»
Sebaik-baik kalian adalah kalian yang paling baik terhadap keluarganya, dan akulah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku. (HR Muslim).

Karena itu, fungsi kepemimpinan (qawâmah) suami terhadap istri adalah fungsi kontrol yang  bersifat ri'âyah (mengurus), bukan kontrol pemerintahan, kekuasaan atau sultan. Dalam konteks seperti ini, kita wajib meneladani Baginda Rasulullah saw. Kita harus melihat, bagaimana beliau memperlakukan para istrinya, dan itulah yang seharusnya kita teladani. Kita hanya terikat dengan syariat, bukan dengan akal atau tradisi kita. 
Karena itu pula, bagi istri-istri yang melakukan pelanggaran terhadap perintah atau larangan suami di luar konteks nusyûz, jika pelanggaran tersebut termasuk dalam kategori maksiat kepada Allah, semisal tidak mengenakan pakaian dalam bentuk jilbâb di tempat umum, padahal berpakaian seperti ini hukumnya wajib, maka dalam konteks ini negaralah satu-satunya yang berhak menjatuhkan sanksi kepadanya, bukan suaminya. Sebab, sanksi suami hanya berhak dijatuhkan dalam konteks nusyûz, bukan untuk yang lain.  []

  Oleh: Drs. Hafidz Abdurrahman, MA

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Powered By Blogger