Sholat Jum’at hukumnya wajib atas setiap Muslimin yang telah terkena beban syari’at (mukallaf), karena Allah Ta’ala telah memerintahkan hal tersebut di dalam Al-Qur’an. Allah subhanahu wata’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan Sholat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah” [QS. Al-Jumu’ah : 9]
Namun kewajiban ini tidak berlaku atas 4 golongan yaitu: hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang sakit. Hal in berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sholat Jum’at adalah wajib atas setiap muslim, kecuali empat golongan : hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang sakit.” [Hadits shohih riwayat Abu Daud dari Thoriq Bin Shihab]
Bilangan Jama’ah Sholat Jum’at
Sholat Jum’at sah dilakukan oleh dua orang yaitu satu imam dan satu ma’mum dengan alasan bahwa Sholat Jum’at adalah salah satu jenis Sholat dari jenis-jenis Sholat yang ada, dimana untuk menetapkan syarat bilangan jama’ah demi sahnya Sholat membutuhkan dalil. Dan tidak ada dalil shohih yang bisa dijadikan dasar pijakan untuk menunjukkan adanya batasan tersebut. apabila disuatu tempat hanya ada dua orang lelaki, lalu salah seorang berdiri untuk Khutbah dan yang satunya menyimak, kemudian keduanya berdiri untuk Sholat Jum’at secara berjama’ah, maka keduanya telah sah melakukan Sholat Jum’at.
Imam As-Suyuti berkata : “Tidak ada hadits yang menetapkan ketentun bilangan yang khusus (di dalam sholat Jum’at).” Demikian juga pendapat Imam Ath-Thobrani, Abu Dawud An-Nakho’if dan Ibnu Hazm.
Hukum Mandi Jum’at
Mandi Jum’at sebelum melaksanakan sholat Jum’at hukumnya WAJIB, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
”Mandi pada hari Jum’at adalah wajib atas setiap Muslim yang telah baligh.” [HR. Al-Bukhori dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudriy]
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Apabila salah seorang diantara kalian hendak melaksanakan sholat Jum’at maka hendaknya dia mandi.” [HR. Al-Bukhori dan Muslim dari Ibnu ‘Umar]
Dari hadits ini dipahami bahwasanya kewajiban mandi Jum’at ini hanya berlaku bagi orang yang hendak melaksanakan sholat Jum’at, dan tidak disyari’atkan bagi orang yang tidak akan menghadiri (melaksanakan) sholat Jum’at.
Adapun cara mandi Jum’at ini sama dengan mandi wajib lainnya, seperti mandi janabat (junub) atau mandi selepas haidh. Yaitu minimal melaksanakan 2 rukun mandi : berniat dan meratakan air keseluruh tubuh.
Adzan Jum’at
Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata: “Sa’ib bin Yazib mengabari saya bahwasanya adzan pada awalnya adalah ketika imam duduk di atas mimbar pada hari Jum’at di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu. Pada saat pemerintahan Utsman radhiyallahu ‘anhu jumlah penduduk semakin banyak dan rumah-rumah berjauhan, maka Utsman memerintahkan pada hari Jum’at adzan ketiga (dalam sebuah riwayat disebutkan : “Adzan pertama”, dan dalam riwayat lain : “adzan kedua”.) pada sebuah ruangan milik beliau dipasar yang bernama ‘Zawra’ . Lalu dikumandangkanlah adzan di Zawra’, sehingga perkara itu menjadi demikian….” [HR. Albukhori dan Abu Dawud]
Hadits ini menerangkan bahwa penyebab adanya dua adzan yang dilakukan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yaitu karena banyaknya jumlah penduduk dan jauhnya rumah mereka dari masjid, sehingga suara adzan tidak sampai kepada mereka. Dan maksud adzan pertama yang dilakukan oleh ‘Utsman ini adalah sebagai pemberitahuan kepada orang-orang yang jauh bahwa waktu sholat Jum’at telah tiba, agar mereka bersiap-siap menghadiri khutbah Jum’at.
Adapun di zaman sekarang penyebab ini hampir tidak ada, sehingga dengan demikian berarti memberlakukan adzan ‘Utsman termasuk kategori mengupayakan sesuatu yang sudah dicapai, dan ini tidak boleh dilakukan; terlebih lagi didalamnya terdapat penambahan terhadap syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa sebab yantg dibenarkan. Oleh karena itu Ali Bin Abi Tholib saat berada di Kufah mencukupkan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (satu kali adzan –pent.) dan tidak memberlakukan adzan tambahan “Utsman. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi.
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika naik mimbar maka Bilal adzan, dan bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah selesai berkhutbah beliau langsung sholat. Adapun adzan yang pertama (adzan ‘Utsman –pent.) adalah bid’ah.” [Diriwayatkan oleh Abu Thohir Al-Mukhlis dalam “Al-Fawa’id”]
Imam Asy-Syafi’iy di dalam kitab “Al-Umm” berkata : “Aku menyukai adzan pada hari Jum’at ketika imam masuk masjid dan duduk di atas mimbar. Apabila imam telah melakukan hal tersebut, maka muadzin mulai adzan. Apabila adzan selesai dikumandangkan, maka imam berdiri dan berkhutbah tanpa menambahinya (dengan adzan yang lain –pent.).”
Hukum Khutbah Jum’at
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah.” [QS. Al-Jumu’ah : 9]
Allah ta’ala telah memerintahkan didalam ayat ini untuk segera mengingat Allah ‘azza wa jalla, dan khutbah termasuk mengingat Allah. Maka perintah di atas mencakup perintah untuk melakukan khutbah, sehingga dapat disimpulkan bahwa ayat ini menunjukkan wajibnya khutbah Jum’at. Hal ini juga dikuatkan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dimana beliau secara kontinyu (terus-menerus) melaksanakan khutbah Jum’at.
Haram Berbicara Ketika Khotib Berkhutbah
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa wajib diam dan haram hukumnya berbicara disaat khotib sedang berkhutbah, sekalipun dalam rangka amar ma’ruf (menyuruh kepada yang baik) dan nahi mungkar (melarang dari yang jelek). Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :”Siapa saja yang berbicara pada hari Jum’at dalam keadaan imam berkhutbah, maka dia seperti keledai yang membawa kitab. Dan orang yang mengatakan kepadanya “diamlah” , maka tidak ada Jum’at baginya.” [HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al-Bazzar dan Ath-Thobraniy]
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
“Kalau kamu mengatakan kepada temanmu “diamlah” dalam keadaan imam berkhutbah, maka sungguh kamu telah melakukan perbuatan sia-sia.”
Kapan Seseorang Dianggap mendapatkan Sholat Jum’at
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Siapa yang mendapatkan satu rakaat sholat Jum’at, maka dia telah mendapatkan sholat Jum’at.” [Hadits shohih riwayat An-Nasa’i dari Abi Hurairah]
Maka orang yang mendapatkan satu rakaat sholat Jum’at berarti dia telah mendapatkan sholat Jum’at sehingga dia tinggal menyempurnakan satu rakaat yang luput. Imam Ash-Shon’aniy di dalam kitab Subulus Salam berkata : “Hadits ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa mendapatkan khutbah Jum’at merupakan syarat sahnya sholat Jum’at.”
Orang yang Luput Sholat Jum’at
Sholat Jum’at adalah kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya. Apabila seorang hamba luput (tidak melaksanakan) sholat Jum’at karena udzur, maka dia wajib melaksanakan sholat Zhuhur.
Dalilnya adalah hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat sholat Jum’at maka dia telah mendapatkan sholat Jum’at, dan barang siapa yang luput (tidak mendapatkan) sholat Jum’at maka hendaklah dia sholat empat rakaat (sholat Zhuhur –pent.).” [diriwayatkan oleh Abdurrozzaq, Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi dengan sanad yang shohih]
Adakah Sholat Sunat Qobliyah Jum’at
Sholat sunat Qobliyah jum’at (sholat sunat sebelum shalat Jum’at yang dilaksanakan setelah adzan –pent.) tidak ada dasarnya di dalam sunnah yang shohih. Tidak diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau pernah sholat sunat Qobliyah Jum’at, karena pada saat beliau masuk ke masjid untuk sholat Jum’at, Bilal langsung adzan lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah tanpa didahului sholat sunat.
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata di dalam kitabnya Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad : “Siapa yang beranggapan bahwa apabila Bilal selesai adzan maka para sahabat berdiri lalu mengerjakan sholat dua rakaat, maka dia adalah orang yang paling bodoh tentang sunnah.”
Merupakan pendapat madzhab Maliki, Syafi’i dan mayoritas pengikutnya serta pendapat yang mahsyur dikalangan madzhab imam Ahmad bahwa “Tidak ada sholat sunat Qobliyah Jum’at.”
Akan tetapi hal ini tidak menafikan adanya sholat sunat yang disebut “sholat sunat muthlaq” yang dilakukan sebelum sholat Jum’at (bukan Qobliyah Jum’at) berdasarkan hadits Salman, dia berkata :
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci sesuai dengan kemampuannya, dan dia memakai minyak rambut atau memakai parfum di rumahnya kemudian dia keluar lalu tidak memisahkan antara dua orang kemudian dia mengerjakan sholat sesuai dengan apa yang Allah tetapkan untuknya, dan dia diam apabila imam berkhutbah, kecuali akan diampuni dosa-dosanya antara Jum’at itu dengan Jum’at berikutnya.”
Pada hadits ini terdapat keterangan tentang amalan tatkala masuk masjid di hari Jum’at, yaitu sholat sunat semampunya sampai imam berkhutbah, dan ini disebut “sholat sunat muthlaq”.
Ibnul Mundzir berkata sebagaimana dinukil dalam kitab Zaadul Ma’ad : “Kami meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa ia sholat sunat muthlaq dua belas rakaat, dan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia sholat delapan rakaat.”
Hukum Sholat Jum’at pada 2 Hari Raya (Idul Fithri dan Idul Adha)
Zaid Bin Arqom meriwayatkan hadits yang artinya :”Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sholat Id (pada hari Jum’at –pent.), kemudian beliau memberi keringanan didalam sholat Jum’at; beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Barang siapa ingin sholat (Jum’at ) maka silahkan sholat.”
Menurut imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah hadits ini menunjukkan bahwa sholat Jum’at setelah sholat Id menjadi rukhshoh (keringanan/boleh tidak dikerjakan) bagi orang yang telah sholat Id. Bila semua orang yang telah sholat Id meninggalkan sholat Jum’at tersebut maka mereka telah mengambil rukhshoh, dan bila ada yang melaksanakannya maka ia mendapat pahala.
Dan bagi orang yang mengambil rukhshoh (tidak sholat Jum’at) maka ia tidak harus sholat zhuhur. Hal ini berdasakan Atsar Atho’ tentang kisah Ibnuz Zubair, Atho’ berkata : “Ibnuz Zubair sholat Id bersama kami pada awal siang hari Jum’at, kemudian kami beristirahat hingga hingga waktu sholat Jum’at namun dia tidak keluar, maka kami sholat Jum’at tanpa Ibnuz Zubair. Pada waktu itu Ibnu ‘Abbas berada di Tho’if, ketika bertemu dengannya kami ceritakan perbuatan Ibnuz Zubair tersebut. Ibnu ‘Abbas berkata : “Ibnuz Zubair mencocoki sunnah”. Lalu berita itu sampai kepada Ibnuz Zubair , maka dia berkata : “Saya melihat ‘Umar Bin Khotthob apabila berkumpul dua Id maka beliau melakukan yang seperti itu.” [Shohih, riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah]
Dalam riwayat lain yang juga dari Atho’, dia berkata : “Ibnu Zubair sholat Idul Fithri dua rakaat pada pagi hari Jum’at kemudian dia tidak sholat lagi sampai sholat Ashor.” [Hasan, riwayat Abdurrozzaq dan Abu Dawud secara ringkas]
Imam Asy-Syaukani dalam Naizul Author berkata : “Zhohir hadits tersebut menunjukkan bahwasanya Ibnuz Zubair tidak sholat zhuhur, dan didalamnya menunjukkan bahwasanya jika seseorang tidak mengerjakan sholat Jum’at karena suatu sebab (rukhshoh) yang membolehkan untuk tidak sholat Jum’at, maka tidak wajib atasnya untuk mengerjakan sholat zhuhur.”
Namun, yang lebih afdhol dan selamat dari perselisihan adalah menghadiri sholat Jum’at.
وَالله ُتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعٰلَمِيْنَ
Maroji (Kitab Rujukan) :
Kitab Al Ajwiba An-Naafi’ah ‘an As-‘ilati Lajnah masjid Al Jaami’ah penulis Muhammad Nasiruddin Al Albani
Kitab shohih Fiqus Sunnah oleh Abu Malik Kamal Bin Sayyid Saalim
Sumber: http://kamtiez.web.id/islam/hukum-sholat-jum%E2%80%99at.pl
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan Sholat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah” [QS. Al-Jumu’ah : 9]
Namun kewajiban ini tidak berlaku atas 4 golongan yaitu: hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang sakit. Hal in berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sholat Jum’at adalah wajib atas setiap muslim, kecuali empat golongan : hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang sakit.” [Hadits shohih riwayat Abu Daud dari Thoriq Bin Shihab]
Bilangan Jama’ah Sholat Jum’at
Sholat Jum’at sah dilakukan oleh dua orang yaitu satu imam dan satu ma’mum dengan alasan bahwa Sholat Jum’at adalah salah satu jenis Sholat dari jenis-jenis Sholat yang ada, dimana untuk menetapkan syarat bilangan jama’ah demi sahnya Sholat membutuhkan dalil. Dan tidak ada dalil shohih yang bisa dijadikan dasar pijakan untuk menunjukkan adanya batasan tersebut. apabila disuatu tempat hanya ada dua orang lelaki, lalu salah seorang berdiri untuk Khutbah dan yang satunya menyimak, kemudian keduanya berdiri untuk Sholat Jum’at secara berjama’ah, maka keduanya telah sah melakukan Sholat Jum’at.
Imam As-Suyuti berkata : “Tidak ada hadits yang menetapkan ketentun bilangan yang khusus (di dalam sholat Jum’at).” Demikian juga pendapat Imam Ath-Thobrani, Abu Dawud An-Nakho’if dan Ibnu Hazm.
Hukum Mandi Jum’at
Mandi Jum’at sebelum melaksanakan sholat Jum’at hukumnya WAJIB, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
”Mandi pada hari Jum’at adalah wajib atas setiap Muslim yang telah baligh.” [HR. Al-Bukhori dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudriy]
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Apabila salah seorang diantara kalian hendak melaksanakan sholat Jum’at maka hendaknya dia mandi.” [HR. Al-Bukhori dan Muslim dari Ibnu ‘Umar]
Dari hadits ini dipahami bahwasanya kewajiban mandi Jum’at ini hanya berlaku bagi orang yang hendak melaksanakan sholat Jum’at, dan tidak disyari’atkan bagi orang yang tidak akan menghadiri (melaksanakan) sholat Jum’at.
Adapun cara mandi Jum’at ini sama dengan mandi wajib lainnya, seperti mandi janabat (junub) atau mandi selepas haidh. Yaitu minimal melaksanakan 2 rukun mandi : berniat dan meratakan air keseluruh tubuh.
Adzan Jum’at
Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata: “Sa’ib bin Yazib mengabari saya bahwasanya adzan pada awalnya adalah ketika imam duduk di atas mimbar pada hari Jum’at di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu. Pada saat pemerintahan Utsman radhiyallahu ‘anhu jumlah penduduk semakin banyak dan rumah-rumah berjauhan, maka Utsman memerintahkan pada hari Jum’at adzan ketiga (dalam sebuah riwayat disebutkan : “Adzan pertama”, dan dalam riwayat lain : “adzan kedua”.) pada sebuah ruangan milik beliau dipasar yang bernama ‘Zawra’ . Lalu dikumandangkanlah adzan di Zawra’, sehingga perkara itu menjadi demikian….” [HR. Albukhori dan Abu Dawud]
Hadits ini menerangkan bahwa penyebab adanya dua adzan yang dilakukan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yaitu karena banyaknya jumlah penduduk dan jauhnya rumah mereka dari masjid, sehingga suara adzan tidak sampai kepada mereka. Dan maksud adzan pertama yang dilakukan oleh ‘Utsman ini adalah sebagai pemberitahuan kepada orang-orang yang jauh bahwa waktu sholat Jum’at telah tiba, agar mereka bersiap-siap menghadiri khutbah Jum’at.
Adapun di zaman sekarang penyebab ini hampir tidak ada, sehingga dengan demikian berarti memberlakukan adzan ‘Utsman termasuk kategori mengupayakan sesuatu yang sudah dicapai, dan ini tidak boleh dilakukan; terlebih lagi didalamnya terdapat penambahan terhadap syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa sebab yantg dibenarkan. Oleh karena itu Ali Bin Abi Tholib saat berada di Kufah mencukupkan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (satu kali adzan –pent.) dan tidak memberlakukan adzan tambahan “Utsman. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi.
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika naik mimbar maka Bilal adzan, dan bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah selesai berkhutbah beliau langsung sholat. Adapun adzan yang pertama (adzan ‘Utsman –pent.) adalah bid’ah.” [Diriwayatkan oleh Abu Thohir Al-Mukhlis dalam “Al-Fawa’id”]
Imam Asy-Syafi’iy di dalam kitab “Al-Umm” berkata : “Aku menyukai adzan pada hari Jum’at ketika imam masuk masjid dan duduk di atas mimbar. Apabila imam telah melakukan hal tersebut, maka muadzin mulai adzan. Apabila adzan selesai dikumandangkan, maka imam berdiri dan berkhutbah tanpa menambahinya (dengan adzan yang lain –pent.).”
Hukum Khutbah Jum’at
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah.” [QS. Al-Jumu’ah : 9]
Allah ta’ala telah memerintahkan didalam ayat ini untuk segera mengingat Allah ‘azza wa jalla, dan khutbah termasuk mengingat Allah. Maka perintah di atas mencakup perintah untuk melakukan khutbah, sehingga dapat disimpulkan bahwa ayat ini menunjukkan wajibnya khutbah Jum’at. Hal ini juga dikuatkan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dimana beliau secara kontinyu (terus-menerus) melaksanakan khutbah Jum’at.
Haram Berbicara Ketika Khotib Berkhutbah
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa wajib diam dan haram hukumnya berbicara disaat khotib sedang berkhutbah, sekalipun dalam rangka amar ma’ruf (menyuruh kepada yang baik) dan nahi mungkar (melarang dari yang jelek). Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :”Siapa saja yang berbicara pada hari Jum’at dalam keadaan imam berkhutbah, maka dia seperti keledai yang membawa kitab. Dan orang yang mengatakan kepadanya “diamlah” , maka tidak ada Jum’at baginya.” [HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al-Bazzar dan Ath-Thobraniy]
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
“Kalau kamu mengatakan kepada temanmu “diamlah” dalam keadaan imam berkhutbah, maka sungguh kamu telah melakukan perbuatan sia-sia.”
Kapan Seseorang Dianggap mendapatkan Sholat Jum’at
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Siapa yang mendapatkan satu rakaat sholat Jum’at, maka dia telah mendapatkan sholat Jum’at.” [Hadits shohih riwayat An-Nasa’i dari Abi Hurairah]
Maka orang yang mendapatkan satu rakaat sholat Jum’at berarti dia telah mendapatkan sholat Jum’at sehingga dia tinggal menyempurnakan satu rakaat yang luput. Imam Ash-Shon’aniy di dalam kitab Subulus Salam berkata : “Hadits ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa mendapatkan khutbah Jum’at merupakan syarat sahnya sholat Jum’at.”
Orang yang Luput Sholat Jum’at
Sholat Jum’at adalah kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya. Apabila seorang hamba luput (tidak melaksanakan) sholat Jum’at karena udzur, maka dia wajib melaksanakan sholat Zhuhur.
Dalilnya adalah hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat sholat Jum’at maka dia telah mendapatkan sholat Jum’at, dan barang siapa yang luput (tidak mendapatkan) sholat Jum’at maka hendaklah dia sholat empat rakaat (sholat Zhuhur –pent.).” [diriwayatkan oleh Abdurrozzaq, Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi dengan sanad yang shohih]
Adakah Sholat Sunat Qobliyah Jum’at
Sholat sunat Qobliyah jum’at (sholat sunat sebelum shalat Jum’at yang dilaksanakan setelah adzan –pent.) tidak ada dasarnya di dalam sunnah yang shohih. Tidak diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau pernah sholat sunat Qobliyah Jum’at, karena pada saat beliau masuk ke masjid untuk sholat Jum’at, Bilal langsung adzan lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah tanpa didahului sholat sunat.
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata di dalam kitabnya Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad : “Siapa yang beranggapan bahwa apabila Bilal selesai adzan maka para sahabat berdiri lalu mengerjakan sholat dua rakaat, maka dia adalah orang yang paling bodoh tentang sunnah.”
Merupakan pendapat madzhab Maliki, Syafi’i dan mayoritas pengikutnya serta pendapat yang mahsyur dikalangan madzhab imam Ahmad bahwa “Tidak ada sholat sunat Qobliyah Jum’at.”
Akan tetapi hal ini tidak menafikan adanya sholat sunat yang disebut “sholat sunat muthlaq” yang dilakukan sebelum sholat Jum’at (bukan Qobliyah Jum’at) berdasarkan hadits Salman, dia berkata :
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci sesuai dengan kemampuannya, dan dia memakai minyak rambut atau memakai parfum di rumahnya kemudian dia keluar lalu tidak memisahkan antara dua orang kemudian dia mengerjakan sholat sesuai dengan apa yang Allah tetapkan untuknya, dan dia diam apabila imam berkhutbah, kecuali akan diampuni dosa-dosanya antara Jum’at itu dengan Jum’at berikutnya.”
Pada hadits ini terdapat keterangan tentang amalan tatkala masuk masjid di hari Jum’at, yaitu sholat sunat semampunya sampai imam berkhutbah, dan ini disebut “sholat sunat muthlaq”.
Ibnul Mundzir berkata sebagaimana dinukil dalam kitab Zaadul Ma’ad : “Kami meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa ia sholat sunat muthlaq dua belas rakaat, dan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia sholat delapan rakaat.”
Hukum Sholat Jum’at pada 2 Hari Raya (Idul Fithri dan Idul Adha)
Zaid Bin Arqom meriwayatkan hadits yang artinya :”Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sholat Id (pada hari Jum’at –pent.), kemudian beliau memberi keringanan didalam sholat Jum’at; beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Barang siapa ingin sholat (Jum’at ) maka silahkan sholat.”
Menurut imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah hadits ini menunjukkan bahwa sholat Jum’at setelah sholat Id menjadi rukhshoh (keringanan/boleh tidak dikerjakan) bagi orang yang telah sholat Id. Bila semua orang yang telah sholat Id meninggalkan sholat Jum’at tersebut maka mereka telah mengambil rukhshoh, dan bila ada yang melaksanakannya maka ia mendapat pahala.
Dan bagi orang yang mengambil rukhshoh (tidak sholat Jum’at) maka ia tidak harus sholat zhuhur. Hal ini berdasakan Atsar Atho’ tentang kisah Ibnuz Zubair, Atho’ berkata : “Ibnuz Zubair sholat Id bersama kami pada awal siang hari Jum’at, kemudian kami beristirahat hingga hingga waktu sholat Jum’at namun dia tidak keluar, maka kami sholat Jum’at tanpa Ibnuz Zubair. Pada waktu itu Ibnu ‘Abbas berada di Tho’if, ketika bertemu dengannya kami ceritakan perbuatan Ibnuz Zubair tersebut. Ibnu ‘Abbas berkata : “Ibnuz Zubair mencocoki sunnah”. Lalu berita itu sampai kepada Ibnuz Zubair , maka dia berkata : “Saya melihat ‘Umar Bin Khotthob apabila berkumpul dua Id maka beliau melakukan yang seperti itu.” [Shohih, riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah]
Dalam riwayat lain yang juga dari Atho’, dia berkata : “Ibnu Zubair sholat Idul Fithri dua rakaat pada pagi hari Jum’at kemudian dia tidak sholat lagi sampai sholat Ashor.” [Hasan, riwayat Abdurrozzaq dan Abu Dawud secara ringkas]
Imam Asy-Syaukani dalam Naizul Author berkata : “Zhohir hadits tersebut menunjukkan bahwasanya Ibnuz Zubair tidak sholat zhuhur, dan didalamnya menunjukkan bahwasanya jika seseorang tidak mengerjakan sholat Jum’at karena suatu sebab (rukhshoh) yang membolehkan untuk tidak sholat Jum’at, maka tidak wajib atasnya untuk mengerjakan sholat zhuhur.”
Namun, yang lebih afdhol dan selamat dari perselisihan adalah menghadiri sholat Jum’at.
وَالله ُتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعٰلَمِيْنَ
Maroji (Kitab Rujukan) :
Kitab Al Ajwiba An-Naafi’ah ‘an As-‘ilati Lajnah masjid Al Jaami’ah penulis Muhammad Nasiruddin Al Albani
Kitab shohih Fiqus Sunnah oleh Abu Malik Kamal Bin Sayyid Saalim
Sumber: http://kamtiez.web.id/islam/hukum-sholat-jum%E2%80%99at.pl
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar